Dampak Alih Fungsi Lahan di Jakarta

#Environment & ecosystems
calendar_today
11 August 2022
person
Author : Wisnu Pudji Pawestri, Nada Ainayya Ridhani
edit
Editor : Dewa Putu AM, Olga Ayu Dewantari
Description

Jakarta dan Masalah Degradasi Lahan

Pertumbuhan populasi manusia yang cepat merupakan salah satu faktor utama dibalik meningkatnya alih fungsi lahan (land use change) hingga pada degradasi lingkungan (Turner dan Meyer, 1991). Populasi penduduk yang tinggi dalam suatu kota memicu peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan.

Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah lahan. Sementara itu ketersediaan lahan sangat terbatas (Sandy, 1996). Oleh karena itu, dengan adanya perubahan struktur ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya sektor industri, meningkatnya aktivitas dan ragam spesialisasi di luar pertanian, serta meningkatnya jumlah penduduk, disinyalir akan menimbulkan tekanan terhadap lahan pertanian dan memicu terjadinya pergeseran pola keberfungsian lahan. Hal ini dapat dipahami mengingat lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting (Lumempouw, 2000).

DKI Jakarta sebagai kota Megapolitan di Indonesia memiliki jumlah populasi yang mencapai 10.562.088 dengan nilai pertumbuhan populasi sebesar 0,92% pada tahun 2020. Jumlah populasi yang besar tersebut memicu peningkatan kebutuhan pangan serta hunian. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, alih fungsi lahan menjadi hal yang sering terjadi di kota dengan jumlah penduduk yang tinggi. Selain itu, tuntutan atas kebutuhan ruang atau lahan dalam segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya pun juga semakin meningkat. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ditetapkan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) seharusnya mencakupi minimal 30% dari luas wilayah kota. Sedangkan, Provinsi DKI Jakarta dengan luas 661,5 km persegi hanya memiliki RTH sebesar 9,8%.

Menurut data BPS pada tahun 2014, 83% dari total wilayah DKI Jakarta telah terpakai. Dari 1.500 situ (danau) yang tadinya berada di wilayah Jabodetabek, sekarang hanya tersisa 178. Wilayah-wilayah yang ber toponimi rawa-rawa seperti Rawa Buaya, Rawa Belong, Rawamangun, dan Rawa Sari, yang tadinya memiliki peran penting dalam retensi air saat ini malah menjadi pusat kota yang memiliki resapan yang minim. Berkurangnya area yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air menyebabkan air hujan yang turun tidak dapat meresap ke dalam tanah. Air hujan tersebut menjadi aliran permukaan yang apabila jumlahnya melebihi kapasitas drainase atau sungai di sekitarnya dapat meluap dan membanjiri jalan serta pemukiman. 

Kejadian Bencana di Jakarta

Salah satu bencana banjir besar di DKI Jakarta terjadi pada tahun 2020 yang menyebabkan 50 orang meninggal dan lebih dari 170 ribu orang harus mengungsi. Banjir ini juga menyebabkan terjadinya krisis air bersih, pemadaman listrik yang menghambat aktivitas, kelumpuhan transportasi, dan juga menimbulkan bencana lain seperti longsor. Meskipun faktor utama penyebab banjir adalah curah hujan yang ekstrem, namun tidak adanya daerah resapan air juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya banjir ini. 

Selain banjir, jenis bencana yang sering terjadi di kota besar seperti Jakarta adalah polusi udara. Pada bulan Juni 2022, indeks kualitas udara DKI Jakarta mencapai 205 US AQI, yang masuk ke dalam kategori sangat tidak sehat (very unhealthy), dan bahkan menduduki peringkat pertama kualitas udara terburuk di dunia. Hal ini disebabkan banyaknya asap dari kendaraan bermotor dan pabrik, juga dipengaruhi oleh tidak adanya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota.

Selain dampak pada manusia, alih fungsi lahan yang terjadi secara masif di Jakarta juga berdampak pada kondisi ekologi. Pembangunan di wilayah Jakarta Utara berdampak langsung pada penurunan luasan mangrove dan vegetasi lainnya. Menurunnya luasan mangrove dan vegetasi lainnya telah mengganggu kekayaan hayati dalam ekosistem mangrove serta ekosistem laut. Dampaknya, mangrove yang merupakan tempat bertelur dan berkembang biak ikan, moluska dan jenis burung juga terganggu. Sedangkan secara sosial, hal ini menyebabkan semakin berkurangnya hasil tangkapan dari nelayan di sekitar pesisir utara Jakarta.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi untuk memperkecil dan mengendalikan peluang terjadinya alih fungsi lahan yang meliputi beberapa hal sebagai berikut:

  1. Kolaborasi antara pemerintah, stakeholders, dan lapisan masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan lahan pertanian dengan non pertanian melalui regulasi yang tepat guna meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan.
  2. Mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk konversi lahan menjadi RTH.
  3. Pemerataan jumlah penduduk.
  4. Menekan laju pertumbuhan penduduk.
  5. Membatasi alih fungsi pada lahan yang memiliki produktivitas pangan, daya serap tenaga kerja, dan fungsi lingkungan tinggi, serta membatasi alih fungsi lahan untuk kegiatan non pertanian yang berpotensi tinggi menimbulkan masalah lingkungan.
  6. Mendorong penataan ruang yang lebih baik lagi.
  7. Pemerintah dan masyarakat perlu melakukan pengawasan secara ketat terhadap tata guna lahan dan alih fungsi lahan.

Mengingat pentingnya memahami laju dan pola perubahan lahan di suatu wilayah maka monitoring secara rutin perlu dilakukan. Hal ini dilakukan agar laju perubahan lahan dapat lebih dikendalikan demi menghindari ataupun mengurangi potensi dampak yang ditimbulkan.

Sebagai contoh di wilayah DKI Jakarta, hampir sebagian besar lahan digunakan untuk pemukiman, tempat usaha, dan fasilitas umum lainnya sehingga mengakibatkan berkurangnya daerah resapan. Hal ini dapat memicu terjadinya banjir di pemukiman warga pada saat terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi.

Monitoring Penggunaan Lahan

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melakukan monitoring penggunaan lahan, salah satunya adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu Citra Satelit. Data Citra Satelit yang paling sering dimanfaatkan adalah Citra Landsat dan Sentinel. Selain langsung diolah dari Citra Satelit, bisa juga dengan cara mengakses data spasial hasil olahan dari otoritas resmi atau terpercaya lainnya seperti yang dalam hal ini adalah data penggunaan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan juga data penggunaan lahan dari ESRI.

Berdasarkan data spasial yang dihimpun oleh tim CARI! yang diperoleh dari data spasial penggunaan lahan KLHK tahun 2019, diketahui bahwa penggunaan lahan di DKI Jakarta sebagian besar merupakan pemukiman. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

Dari tabel di atas terlihat bahwa pemukiman di Jakarta Barat sebesar 95,20% dengan RTH sebesar 4,80%. Tidak jauh berbeda, Jakarta Pusat memiliki luas pemukiman sebesar 99,35% dengan RTH seluas 0,65%. Wilayah Jakarta Selatan memiliki luas pemukiman sebesar 97,26% dan luas RTH sebesar 2,74%. Di Jakarta timur luas pemukiman sebesar 89,36% dan RTH sebesar 6,95%, serta terdapat lahan yang digunakan sebagai bandara sebesar 3,69%. Jakarta Utara memiliki luas pemukiman sebesar 82,29% dan RTH sebesar 14,90%, serta terdapat area yang digunakan sebagai pelabuhan sebesar 2,82%. Berbeda halnya dengan yang ada di area perkotaan, di Kepulauan Seribu wilayah RTH masih lebih besar persentasenya dibanding dengan area pemukimannya. Pemukiman di Kepulauan Seribu sebesar 9,14% dan RTH sebesar 90,86%. Jakarta Pusat merupakan wilayah dengan persentase luas pemukiman tertinggi dan luas RTH yang paling rendah dibanding wilayah lain.

Pemanfaatan Data Penggunaan Lahan dalam Penanggulangan Kebencanaan

Informasi penggunaan lahan memiliki peranan penting dalam penilaian hingga pada pengelolaan risiko bencana, serta berkaitan erat dengan tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap bencana banjir, tanah longsor, hingga pada cuaca ekstrim. Minimnya vegetasi suatu wilayah akan menyebabkan meningkatnya tingkat kerawanan wilayah tersebut terhadap bencana. Selain dari sisi vegetasi, perluasan lahan terbangun pada wilayah-wilayah yang memiliki bahaya tinggi terhadap kejadian bencana juga kemudian semakin meningkatkan risiko bencana yang bisa memicu bencana yang semakin besar dalam berbagai kasus juga berpotensi menjadi wilayah yang terdampak.

Data penggunaan lahan dapat digunakan untuk melakukan monitoring perubahan fungsi penggunaan lahan yang dimanfaatkan sebelumnya. Seperti contoh di daerah yang sebelumnya merupakan lahan terbuka, kemudian dapat berubah menjadi lahan terbangun. Perubahan penggunaan lahan ini, dapat dilihat menggunakan data temporal dari tahun yang berbeda. Selain untuk monitoring, data penggunaan lahan dapat juga digunakan untuk analisis kerentanan bahaya di suatu wilayah. Nilai dari indeks penggunaan lahan dapat dihitung untuk mendapatkan indeks kerentanan lingkungan.

Saat ini, CARI! - sesuai dengan visinya, yaitu mempercepat pembangunan masyarakat tangguh bencana di seluruh Indonesia; mendukung pemerintah, akademisi, pengusaha, dan masyarakat untuk menjembatani seluruh pengetahuan ilmiah tentang risiko dan ketahanan bencana kepada publik - telah menambahkan data penggunaan lahan di setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia melalui fitur Area Brief yang bisa digunakan salah satunya untuk keperluan monitoring dan juga penentuan topik hingga pada lokus penelitian lebih lanjut, baik yang berkaitan dengan pemahaman risiko bencana hingga pada pengelolaannya. Data penggunaan lahan yang digunakan saat ini bersumber dari data spasial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019. Contoh Area Brief khusus untuk wilayah Jakarta dapat diakses disini.

Catatan:

Berdasarkan Metadata yang tersedia, data Penggunaan Lahan yang kami akses dari KLHK merupakan hasil olahan dari Citra Landsat yang memiliki resolusi 30 meter, maka dapat diubah menjadi peta vektor skala 1:100.000. Dengan skala tersebut, data bisa digunakan sampai tingkat kabupaten/kota.

 

Daftar Pustaka :

  1. Dewi, B. K. (2022, Juni 23). Bukan Hanya karena Cuaca, Ini 8 Penyebab Polusi Udara Jakarta. Dipetik Juni 28, 2022, dari Kompas: https://www.kompas.com/sains/read/2022/06/23/201359123/bukan-hanya-karena-cuaca-ini-8-penyebab-polusi-udara-jakarta?page=all
  2. Eldi. (2020). Analisis Penyebab Banjir di DKI Jakarta. Jurnal Inovasi Penelitian, 1057-1064.
  3. Lumempouw R J. 2000. Study Factors influencing the shrinkage of water catchment area of South Jakarta city, Province Special Capital Region of Jakarta, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado. 
  4. Rizal, A., & Haykal, F. (2021). Land Use Changes Analysis in Jakarta Bay Coastal Area Between 1998, 2008, and 2018. Jurnal Segara Vol 17 (2), 135-144.
  5. Sandy, I M. Land. 1996. Earth, UUPA 1960 – 1995, PT Indograph Bakti, FMIPA – UI, Jakarta. 
  6. Turner, B. and Meyer, W.B. 1991. Land Use and Land Cover in Global Environmental Change. International Social Science Journal, 43, 669-679.
  7. Simanjuntak, T. R. (2020, Desember 17). KALEIDOSKOP 2020: Banjir di Tahun Baru, Jakarta Lumpuh dan Gelap Gulita. Dipetik Juni 29, 2022, dari Kompas: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/17/14185951/kaleidoskop-2020-banjir-di-tahun-baru-jakarta-lumpuh-dan-gelap-gulita?page=all
  8. The Conversation. (2020, Januari 6). Banjir besar di Jakarta awal 2020: penyebab dan saatnya mitigasi bencana secara radikal. Dipetik Juni 28, 2022, dari The Conversation: https://theconversation.com/banjir-besar-di-jakarta-awal-2020-penyebab-dan-saatnya-mitigasi-bencana-secara-radikal-129324
  9. WALHI. (2020, Januari 30). JAKARTA Butuh Pohon bukan Beton! Dipetik Juni 29, 2022, dari WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia: https://www.walhi.or.id/jakarta-butuh-pohon-bukan-beton

-----

Isi tulisan baik sudut pandang yang dipilih dan gagasan yang disertakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan ini bukan ditujukan untuk menyampaikan pandangan resmi dari CARI!