Indonesia Butuh Lebih Banyak Lagi Penelitian untuk Mengatasi Bencana Kekeringan
29 March 2023
Author : Ainur Ridho, Dewa Putu, Mizan Bisri
Editor : Nada Ainayya Ridhani
Perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana terkait air di seluruh dunia. UN Water Action Decade (2018-2028) menyerukan tindakan untuk mengatasi tantangan terkait air, termasuk bencana banjir dan kekeringan. Namun, berbeda dengan penelitian banjir*, kami menemukan bahwa penelitian kekeringan di Indonesia masih kurang dipelajari. Berdasarkan Knowledge Engine CARI!, hanya ada 7% publikasi kekeringan dari seluruh publikasi terkait bencana.
Oleh karena itu, dalam edisi IDKU ini, kami mengeksplorasi penelitian dan lanskap pengetahuan Indonesia khususnya yang berkaitan dengan bahaya kekeringan. Tinjauan ini akan memberikan ikhtisar tentang keadaan penelitian saat ini, mengidentifikasi kesenjangan dalam pengetahuan, dan memberikan rekomendasi penelitian masa depan untuk mengatasi masalah kritis ini untuk mewujudkan SDG No 6 dan No 13.
Sebagai informasi, IDKU edisi Maret 2023 ini telah dipresentasikan pada “The 6th United Nations Special Session on Water and Disaster dan The 2023 UN Water Conference” di New York, USA, pada 21-24 Maret 2023, sebagai sumbangsih tim CARI! sebagai salah satu bahan pemantik diskusi pakar air di dunia.
Tidak seperti bencana lainnya yang dapat segera terdeteksi, kekeringan biasanya berkembang perlahan, sehingga sulit untuk menentukan awal dan akhir secara real-time. Dampak kekeringan dapat menghancurkan dan merugikan masyarakat, pertanian, infrastruktur, ekonomi dan ekosistem. Kekeringan dapat didefinisikan sebagai:
- Ketiadaan curah hujan yang berkepanjangan atau kekurangan curah hujan yang nyata.
- Periode cuaca kering yang tidak normal pada jangka waktu yang cukup lama karena kurangnya curah hujan menyebabkan ketidakseimbangan hidrologi yang parah.
Ada 5 jenis kekeringan seperti pada gambar di bawah ini yang dibedakan berdasarkan indikator kekeringan serta durasi waktu kekeringannya, yaitu; kekeringan meteorologi, agrikultur, ekologi, hidrologi, dan sosio-ekonomi.
Jenis-jenis kekeringan (sumber: diadaptasi dari WMO. 2020. Guidelines on the Definition and Monitoring of Extreme Weather and Climate Events)
Kekeringan meteorologi utamanya disebabkan oleh kurangnya curah hujan dalam waktu tertentu, apabila cukup lama dapat menyebabkan kekeringan agrikultur yang berdampak dari kurangnya curah hujan pada tanaman dan ternak, serta kekeringan ekologis yang berdampak lebih luas pada lingkungan ekologi seperti hutan dan rawa. Sementara, kekeringan hidrologi terjadi ketika kekurangan air telah terjadi pada sungai, danau, dan badan air lainnya. Kekeringan sosioekonomi adalah efek dari jenis kekeringan-kekeringan sebelumnya yang berdampak terhadap kegiatan ekonomi pada masyarakat dan industri, atau kesehatan manusia.
Memahami berbagai jenis kekeringan penting untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam mengurangi dan menanggapi dampak kekeringan. Maka penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk memahami dampak kekeringan, hubungannya dengan perubahan iklim, dan tindakan yang harus diambil untuk meningkatkan keamanan air sangat diperlukan.
Tinjauan literatur publikasi penelitian bencana kekeringan di Indonesia
Kami memeriksa publikasi penelitian yang diterbitkan selama 5 tahun terakhir (2019-2023) tentang bahaya dan bencana kekeringan di Indonesia. Artikel ilmiah diperoleh dari Knowledge Engine CARI! yang bersumber dari repositori Scopus, DOAJ, dan Portal Garuda. Semua artikel jurnal, prosiding, review, dan buku dimasukkan ke dalam analisis ini. Selain itu, hanya artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang dimasukkan ke dalam kajian ini. Secara total, kami mendapatkan 366 publikasi penelitian dari 221 jurnal untuk ditinjau dalam analisis literatur.
Penelitian kekeringan di luar Jawa masih sedikit dilakukan, meskipun tingginya risiko kekeringan
Peta berikut menunjukkan bahwa jumlah artikel penelitian tersebar lebih banyak di Pulau Jawa, sebagian di Nusa Tenggara, dan jauh lebih sedikit di luar wilayah tersebut. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki jumlah penelitian terbanyak dengan masing-masing 59 dan 57 publikasi, sementara provinsi lain memiliki kurang dari 40 publikasi. Meskipun risiko relatif tinggi di beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, penelitian di provinsi-provinsi tersebut masih minim. Di tingkat kota/kabupaten (lihat wordcloud di bawah), Kab. Bantul memiliki jumlah publikasi artikel terbanyak, yaitu 8 publikasi, disusul Kota Yogyakarta, Kab. Jember, dan Kota Pasuruan, dengan masing-masing sebanyak 6 publikasi. Konsentrasi artikel penelitian yang lebih tinggi di provinsi tertentu mungkin disebabkan oleh lokasi perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang sebagian besar berada di Pulau Jawa.
Provinsi dengan banyak bencana kekeringan cenderung lebih banyak diteliti, tidak peduli berapapun tingkat risiko
Plot kuadran menunjukkan kategori provinsi (ditandai dengan warna berbeda) berdasarkan jumlah artikel penelitian (CARI!, 2023) dan skor risiko kekeringan (BNPB, 2021). Ukuran lingkaran menggambarkan kejadian bencana kekeringan (2003-2023) (BNPB, 2023).
Berdasarkan data publikasi yang kami kumpulkan, secara nasional, setidaknya ada 1 publikasi mengenai bencana kekeringan di setiap provinsi, kecuali provinsi Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sembilan provinsi memiliki lebih banyak publikasi daripada rata-rata nasional (yaitu >=10 artikel), yang meliputi 6 provinsi dengan kategori hijau, dan 3 provinsi dengan kategori biru yang terletak di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Menariknya, tidak ada hubungan yang jelas antara skor risiko kekeringan dan jumlah penelitian di setiap provinsi. Bahkan beberapa provinsi dengan skor risiko kekeringan rendah memiliki publikasi penelitian lebih banyak dibandingkan provinsi dengan skor risiko kekeringan tinggi (contoh Nusa Tenggara Barat). Jumlah penelitian lebih berkorelasi terhadap jumlah bencana kekeringan yang pernah terjadi di provinsi tersebut, semakin banyak dilanda bencana kekeringan maka semakin banyak publikasi penelitiannya.
Kegiatan penelitian kekeringan harus berkelanjutan
Diagram batang di sumbu kiri menampilkan jumlah artikel penelitian yang diterbitkan setiap tahun, sedangkan diagram garis di sumbu kanan menunjukkan jumlah kumulatif artikel penelitian. Kode warna yang digunakan dalam bagan batang bertumpuk menunjukkan jenis kekeringan yang sedang dipelajari.
Selama 5 tahun terakhir, antara tahun 2019 hingga 2020 terjadi peningkatan jumlah publikasi, namun tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan. Jenis kekeringan agrikultur paling banyak diteliti setiap tahunnya, sedangkan jenis kekeringan lainnya memiliki jumlah yang sedikit bervariasi. Produktivitas penelitian kekeringan agrikultur didorong oleh banyaknya kelompok peneliti pertanian di Indonesia. Mempertahankan dukungan pendanaan serta sumber daya manusia pada proyek penelitian kekeringan perlu dipastikan dalam jangka panjang.
Universitas besar dan berbasis di Jawa cenderung mendominasi produksi riset kekeringan
Berdasarkan afiliasi penulis utama, Universitas Gadjah Mada berkontribusi sebagai Perguruan Tinggi paling produktif dengan 22 artikel tentang bahaya kekeringan. Diikuti oleh Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia dengan 19 artikel. Universitas terkemuka lainnya dengan jumlah artikel yang signifikan adalah Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Jember. Secara keseluruhan, terdapat 150 afiliasi berbeda, yang didominasi oleh universitas di Jawa, serta sebagian kecil beberapa afiliasi institusi luar negeri ada dalam ulasan ini.
Publikasi Penelitian Teratas
- Google Earth Engine for geo-big data applications: A meta-analysis and systematic review
- Increased occurrence of high-impact compound events under climate change
- Global-scale drought risk assessment for agricultural systems
- Exploration of the importance of physical properties of Indonesian peatlands to assess critical groundwater table depths, associated drought, and fire hazard
- Character evaluation and selection of tropical wheat lines in the long period of the dry season and high temperature
Daftar di atas adalah 5 artikel penelitian tentang bahaya kekeringan yang paling banyak dikutip di Indonesia, seperti yang dicatat oleh Scopus per Maret 2023. Artikel peringkat teratas memeriksa kekeringan secara global dalam kaitannya dengan Indonesia. Sementara itu, 2 artikel teratas selanjutnya membahas tentang kekeringan di lahan gambut dan gandum.
Kekeringan banyak dikaji sebagai akibat dari perubahan iklim, pemicu karhutla, dan ancaman terhadap pertanian
Analisis jaringan pengetahuan menggunakan kata kunci yang diekstraksi dari judul dan abstrak publikasi, mengklasifikasikan kelompok studi untuk menunjukkan keragaman informasi di lapangan dengan mengidentifikasi perbedaan di antara kata kunci. Analisis ini telah menghasilkan simpul kata kunci dan tautan terkaitnya dalam penelitian bahaya kekeringan. Empat kelompok berbeda dari jaringan pengetahuan ditemukan. Kluster hijau biasanya mempelajari kekeringan sebagai kekuatan stres pada tanaman pertanian, sedangkan kluster merah cenderung mempelajari kekeringan sebagai pemicu kebakaran hutan. Di kluster kuning, kekeringan umumnya dilihat dalam konteks perubahan iklim dan sebagai tantangan sosial ekonomi. Sedangkan pada kluster biru, bahaya kekeringan cenderung dipelajari dari perspektif meteorologi yang menilai curah hujan dan parameter cuaca lainnya. Sayangnya, penelitian komprehensif mengenai tata kelola air masih sangat minim muncul pada jejaring pengetahuan.
Ukuran simpul lingkaran melambangkan frekuensi kemunculan kata kunci, sedangkan simpul yang lebih dekat menunjukkan kemunculan kata kunci yang lebih tinggi yang muncul bersamaan, dan ketebalan tautan yang menghubungkannya menunjukkan signifikansi kemunculan bersama. Warna titik menunjukkan kelompok pengetahuan yang dikaitkan.
Diagram Sankey Publikasi: Lokasi Penelitian - Jenis Kekeringan - Fase Penanggulangan Risiko Bencana
Diagram Sankey di bawah digunakan untuk menentukan hubungan ko-analisis antara lokasi penelitian per wilayah, jenis kekeringan yang diteliti, dan fase manajemen risiko bencana yang diselidiki di setiap artikel penelitian. Sekitar 43,44% atau 159 artikel dari seluruh penelitian yang dilakukan terfokus pada wilayah Jawa, dan sebagian besar terkait dengan jenis kekeringan hidrologi, diikuti oleh kekeringan agrikultur. Penelitian nasional atau konseptual atau skala laboratorium (20,77% atau 76 artikel) berada di urutan kedua dan umumnya lebih banyak mempelajari kekeringan agrikultur. Daerah lain berkontribusi pada studi yang tersisa, yang cenderung terkait dengan tipe kekeringan ekologis, meteorologis, dan agrikultur. Kekeringan agrikultur adalah yang paling sering dipelajari, diikuti oleh kekeringan sosio-ekonomi dan hidrologi. Setiap jenis kekeringan terutama dipelajari dalam fase pencegahan dan mitigasi, sedangkan fase kesiapsiagaan dan tanggap darurat paling sering dikaitkan dengan kekeringan sosio-ekonomi. Fase pencegahan dan mitigasi adalah fase yang paling banyak diteliti dengan 324 artikel, diikuti oleh fase kesiapsiagaan dengan 26 artikel, sedangkan fase lain seperti fase pemulihan, multifase, dan tanggap darurat kurang terwakili dengan baik dalam penelitian ini. Secara ringkas, temuan tersebut mengungkapkan bahwa masih terdapat kesenjangan yang cukup besar dalam penelitian tentang bahaya dan bencana kekeringan, khususnya dalam fase kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan fase pemulihan, serta studi di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Diagram Sankey divisualisasikan secara proporsional dengan jumlah publikasi. Ukuran kotak yang lebih besar dan garis yang lebih lebar menunjukkan jumlah publikasi yang lebih banyak. Diagram Sankey mengilustrasikan distribusi artikel penelitian dan hubungannya dengan lokasi yang diteliti, jenis kekeringan, dan fase manajemen bencana.
Kebutuhan air dan tren bencana kekeringan di Indonesia
Menggabungkan Kerangka Kerja "EPIC Response" ke dalam Penelitian Pengelolaan Bencana Kekeringan
Karena adanya perubahan iklim, manajemen risiko hidro-iklim tradisional tidak lagi efektif. Di masa lalu, pola cuaca di suatu area secara statistik stabil dari waktu ke waktu, memungkinkan kita untuk memprediksi kemungkinan bencana alam dengan informasi historis. Namun, perubahan iklim telah mengganggu pola ini, dan masa lalu tidak lagi menjadi peramal masa depan yang dapat diandalkan. Untuk mengatasi meningkatnya jumlah bahaya ekstrem hidro-iklim, kita perlu fokus pada ketahanan iklim. Hal ini melibatkan persiapan menghadapi guncangan iklim sebelumnya, mengadopsi pendekatan kuat yang bekerja di berbagai potensi masa depan iklim, dan membangun fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi yang berubah.
Kerangka kerja di bawah menyarankan bahwa banjir dan kekeringan harus dilihat bersama sebagai dua sisi dari masalah iklim yang sama. Meskipun mereka mewakili kondisi yang berlawanan, mereka saling berkaitan dan dapat diatasi dengan prinsip dan tindakan yang serupa. Kerangka ini menekankan pentingnya mengintegrasikan langkah-langkah pengurangan risiko banjir dan kekeringan. Pemerintah menghadapi kesulitan dalam menghadapi peristiwa hidro-iklim ekstrim, termasuk kekeringan dan banjir, karena kurangnya komunikasi dan kerjasama antar lembaga.
Sumber: Browder et al. 2021. An EPIC Response: Innovative Governance for Flood and Drought Risk Management. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35754
Untuk memitigasi kedua ancaman banjir dan kekeringan tersebut, World Bank mengusulkan pendekatan baru bagi pemerintah nasional untuk mengelola risiko dan memastikan masa depan yang aman bagi populasi global. Lima elemen kunci dari kerangka kerja baru tersebut dapat diwakili oleh istilah mnemonik “EPIC Response” dan dijelaskan sebagai berikut:
- (Enabling) Mengaktifkan lingkungan pendukung kebijakan, undang-undang, lembaga, rencana strategis, partisipasi, dan informasi.
- (Planning) Perencanaan pada berbagai tingkat geografis untuk memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi menjadi prioritas tinggi.
- (Investing) Berinvestasi pada daerah aliran sungai yang sehat dan infrastruktur air untuk mengurangi bahaya dari banjir dan kekeringan.
- (Controlling) Mengontrol penggunaan air dan pembangunan dataran banjir untuk mengurangi paparan dan meminimalkan kerentanan.
- (Responding) Menanggapi banjir dan kekeringan dengan lebih baik melalui pemantauan, tanggapan, dan pemulihan yang lebih efektif.
Rekomendasi penelitian ke depan
Laporan IPCC AR6 menunjukkan bahwa sedikitnya bukti penelitian dan tren regional yang tidak konsisten memberikan kepercayaan yang rendah terhadap tren perubahan kekeringan di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Data kami menunjukkan hal yang sama bahwa penelitian kekeringan masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. CARI! merekomendasikan agar perlu dilakukan lebih banyak penelitian tentang bahaya kekeringan di seluruh wilayah di Indonesia dengan zona iklim yang berbeda untuk meningkatkan pemahaman kita tentang risiko dan dampaknya.
Tindakan tepat waktu dan berbagai pilihan adaptasi, seperti pengelolaan air dan irigasi di lahan pertanian, serta pertanian cerdas iklim, dapat membantu mengurangi kerentanan. Temuan kami menunjukkan bahwa penelitian tentang kontrol terkait prinsip EPIC Response cukup sedikit. Direkomendasikan untuk mempelajari neraca air yang komprehensif untuk manajemen risiko kekeringan yang efektif dengan menggunakan kerangka EPIC Response. Penelitian lain untuk mendukung tindakan tepat waktu, seperti sistem peringatan dini dan strategi pengelolaan adaptif, diperlukan untuk mengurangi dampak kekeringan dan mengurangi kerentanan.
Untuk mengatasi meningkatnya permintaan pertanian dan dampak perubahan iklim, CARI! menyarankan agar penelitian dapat dilakukan untuk mempelajari kelayakan penerapan asuransi kekeringan untuk lokasi dan varietas yang spesifik. Pembahasan mengenai topik-topik tersebut dalam kekeringan masih terbatas. Asuransi ini akan memberikan dukungan finansial kepada petani yang mengalami gagal panen akibat kekeringan akibat perubahan iklim. Selain itu, penelitian ini dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang fase kesiapsiagaan manajemen risiko bencana kekeringan.
Pengetahuan saintifik kekeringan di Indonesia adalah langkah penting menuju peningkatan keamanan air negara dan memastikan penggunaan sumber daya air yang berkelanjutan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan keamanan air, yang dikombinasikan dengan penelitian yang dilakukan, memberikan harapan untuk masa depan di mana Indonesia dapat mempertahankan akses ke air bersih dan dapat diandalkan bagi populasi dan ekonominya yang semakin meningkat.
Sejalan dengan temuan-temuan di atas, CARI! sekarang sedang mendukung dua inisiatif yang berhubungan dengan bencana terkait air, baik kekeringan, banjir, hingga cuaca ekstrem. Pertama, Studi Kelayakan tentang Forecast-Based Early Action (FBEA) di Jakarta Timur dan Alor, bagian dari proyek ANTICIPATION (Asia Pacific Anticipatory Action for Disaster Mitigation) Wahana Visi Indonesia. Kedua, Kajian Aspek Inklusi pada Sistem Perencanaan Penganggaran Berbasis Perkiraan dalam Program Perlindungan Sosial yang Berlaku di Indonesia, bagian dari proyek Arbeiter Samariter-Bund (ASB) Indonesia and the Philippines dalam Program Penerapan Standar dan Panduan Inklusi Kemanusiaan dalam Kesiapsiagaan Bencana melalui Penguatan Kapasitas Terlembaga (Program PASTI).
Ayo berkolaborasi untuk peningkatan pengetahuan terkait air dan bencana menuju the 10th World Water Forum pada Mei 2024, Bali, Indonesia, and beyond.
Referensi
WMO. 2023. Guidelines on the definition and monitoring of extreme weather and climate events. https://library.wmo.int/doc_num.php?explnum_id=11535
UNDRR. 2022. Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction: Special Report on Drought 2021. https://www.undrr.org/publication/gar-special-report-drought-2021
Browder et al. 2021. An EPIC Response : Innovative Governance for Flood and Drought Risk Management. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/35754